RSS

Hubungan Indonesia-Malaysia


            Hubungan antardua negara Indonesia-Malaysia belum berlandaskan solidaritas yang saling mengerti dan menghargai perasaan nasional masing-masing. Hal ini dibuktikan dengan adanya serangkaian konflik antara Indonesia-Malaysia selama ini. Semakin hari, seiring dengan terpuruknya perekonomian Indonesia, Malaysia merasa superior dibandingkan Indonesia dan rendah dalam memandang Indonesia.
            Hubungan tak baik antara Indonesia dan Malaysia sudah dimulai sejak pembentukan negara Malaysia yang didukung oleh kolonialisme Inggris. Kala itu bergema slogan yang sangat kuat: Ganyang Malaysia,  yang digelorakan Presiden Sukarno, dalam rangka memobilisasi dukungan masyarakat Indonesia dalam  perang melawan Malaysia. Semboyan ganyang Malaysia, walaupun sudah sangat lama, tetapi tidak lekang karena panas dan tidak  lapuk  karena hujan, ia selalu diingat  ketika muncul persoalan dengan Malaysia. Ganyang Malaysia telah berada dibawah sadar sebagian masyarakat Indonesia,  dan seketika bisa  muncul jika ada masalah dalam hubungan Indonesia-Malaysia. Ungkapan “ganyang Malaysia” telah menjadi bagian dari pembentuk heroik bangsa Indonesia dalam menghadapi Malaysia. Presiden Soekarno kemudian mengumandangkan Dwikora (Dwi Komando Rakyat) yang isinya
• Pertinggi ketahanan Revolusi Indonesia
• Bantu Perjuangan Revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sarawak, dan Sabah untuk  menghancurkan Malaysia
 Indonesia pun siap mengerahkan segala sumber daya nasional mulai dari militer sampai kesenian untuk menghancurkan negara boneka imperialis Inggris: Malaysia.
            Akan tetapi periode ini sudah berakhir: terjadi perubahan orientasi politik dan ekonomi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa. Permusuhan dihentikan dan hubungan baik dijalankan. Keduanya bahkan aktif sebagai penjaga kawasan ekonomi dan politik di Asia Tenggara dan bergabung dalam ASEAN. Terlebih lagi dari segi kultur dan bahasa memang tak jauh beda antara Indonesia-Malasia. Walau begitu, selalu saja ada materi konflik yang dimunculkan dan juga terasa tak tuntas dalam penyelesaiannya. Meski berjiran, hubungan Indonesia dan Malaysia tak selalu mesra. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial.
            Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orba, menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional. Hubungan kedua negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto kepada Mahkamah Internasional pada 1997. Belum sembuh dari guncangan atas kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan mengklaim Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di laut Sulawesi. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun kembali populer.
            Isu-isu berkaitan dengan nasionalisme selalu berhasil menaikkan tensi hubungan dua negara. Hal ini dapat dilihat pada kanyataan bahwa akhir-akhir ini hubungan Indonesia-Malaysia mulai terpicu oleh berbagai kasus lainnya yang lebih pada isu kemanusiaan, seperti Manohara, TKW (PRT) yang dianiaya majikannya di Malaysia, dan sampai masalah klaim Malaysia atas hasil seni budaya kita. Tak urung emosi publik pun semakin berkobar menanggapi rentetatan kasus tersebut, seolah menantang semangat “nasionalisme” rakyat yang cinta akan bangsanya. Upaya meredakan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia yang sering terjadi pun merupakan hubungan formal yang belum mampu memperkuat dan memperluas hubungan interpersonal antarmasyarakat kedua negara.

            Dalam suatu realitas suatu hubungan, baik hubungan personal maupun interpersonal, nasional maupun internasional, memiliki beberapa keterkaitan dan ketergantungan satu sama lainnya. Keterkaitan tersebut memberikan kontribusi yang sangat kuat bagi hubungan pihak-pihak yang bersangkutan. Namun, ketika kita memahami suatu hubungan antar negara satu dengan lainnya yang diartikan sebagi hubungan internasional ini, hal-hal yang mempengaruhi baik dari segi positif maupun negatifnya masih cukup banyak. Entitas Globalisasi membuat negara-negara menjadi satu dan bergabung membentuk wadah organisasi yang mana tujuan kedepannya ialah agar dapat tercapainya suatu bentuk kerjasama regional maupun keamanan bersama.
            Masa Orde baru di Indonesia yang dipimpin oleh Presiden RI ke-2 Soeharto, memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap hubungan luar negeri Indonesia saat itu. Ketika kita memahami Hubungan Indonesia dengan wilayah negara-negara di Asia Tenggara pada masa orde baru, suatu bentukan organisasi yang dianggap mampu mendapat respon yang cukup baik bagi politik luar negeri RI dan sebagai rekonstruksi pembangunan di sektor ekonomi Indonesia, yang kemudian dikenal dengan ASEAN atau Association of South-East Asian Nations. Dimana wadah organisasi ini dipelopori oleh 5 negara pendiri yakni: Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand.
            Beberapa kontroversi terus menerpa hubungan Indonesia dengan Malaysia sebelum pemerintahan orde baru muncul. Seperti yang kita ketahui, pada saat era presiden Soekarno, politik “Ganyang Malaysia” yang dikeluarkan sebagai senjata untuk memberontak sekaligus menentang pembentukan persemakmuran Inggris, federasi Malaysia. Malaysia dinilai sebagai bentuk pengaruh imperialisme barat yang disebarkan oleh Inggris, dan kemudian, memberikan suatu ide “Konfrontasi” yang bersifat radikal terhadap kebijakan luar negeri Indonesia yang dikeluarkan presiden Soekarno pada masa Orde Lama.
            Hubungan Indonesia Malaysia yang pertama kali dikenal dalam konstelasi politik regional, diawali dengan konfrontasi Indonesia vs Malaysia. Persamaan rumpun (melayu), sejarah,letak geografis serta persamaan bahasa yang sama tidak menjadikan Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan yang sangat baik dan berlangsung secara harmonis, bahkan hubungan Indonesia sangatlah buruk ketika itu. Perbedaan sejarah kolonialisasi membuat Rezim Soekarno atas ketidakpuasan terbentuknya negara Malaysia pada dekade tahun 1960an. Penyebarluasan imperialisme barat yang dinilai Soekarno memberikan pengaruh negatif terhadap kelangsungan negara-negara Asia Tenggara akhirnya membentuk suatu persepsi dan hubungan yang kurang baik dengan Malaysia.
            Pemulihan Hubungan Indonesia-Malaysia atas konfrontasi yang dibuat oleh Soekarno, diakhiri pada tahun 1967 dan sekaligus menggantikan posisi pemerintahan Soekarno yang jatuh karena pemberontakan G-30S PKI, kemudian berganti menjadi pemerintahan Soeharto yang sekaligus merupakan awal mula dari pemerintahan Orde baru ini. mnya dicerminkan melalui kembalinya Indonesia dalam kea
            Akan tetapi, perjalanan hubungan diplomatik antarnegara bertetangga memang tidak selalu berjalan mulus dan lancar. Utamanya Indonesia belakangan ini gencar disinggung oleh klaim budaya melalui propaganda pariwisata Malaysia. Kemudian, isu Terorisme yang gencar dibicarakan. Isu-isu perbatasan wilayah (Sipadan dan Ligitan, Ambalat, Sabah dan Serawak), penampungan kayu-kayu dan , penyelundupan BBM dan sebagainya sehingga hubungan kedua negara tersebut sangat kurang harmonis. Malaysia dinilai sebagai bangsa yang sangat melecehkan Indonesia bahkan menginjak-injak harga diri Indonesia. Dari hal inilah terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia-Malaysia tidak berjalan secara harmonis dan tidak mencerminkan suatu hubungan timbal-balik dalam lingkup geografis yang dapat menghasilkan kerjasama dari sektor perekenomian maupun militer.
Bulan Madu hubungan dua negara
Sejak pergantian pemerintahan di Indonesia, antara Soekarno ke Soeharto pasca G30S/PKI, terjadi vacuum conflict. Soeharto cenderung melihat Malaysia sebagai rekanan aliansi yang dapat saling menguntungkan apabila terjalin hubungan diplomatik yang baik. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Indonesia dan Malaysia menandatangani perjanjian perdamaian dan pembangunan kembali hubungan diplomatik yang harmonis dan saling menguntungkan. Perjanjian akhirnya ditandatangani pada 11 Agustus 1966 di Bangkok. 
 Pada masa pemerintahan Soeharto dan Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak, hubungan Indonesia-Malaysia sangat mesra, bagaikan hubungan kakak dan adik. Pada masa itu,  hubungan kedua negara sangat indah dan mesra.
Akan tetapi, hubungan itu tidak berlangsung lama karena masa pemerintahan PM Malaysia  Tun Abdul Razak hanya berlangsung sekitar enam tahun (1970-1976), kemudian  digantikan Tun Husein On dan Tun Mahathir Mohamad. Pada masa pemerintahan Tun Mahathir,  secara perlahan  tapi pasti, terjadi perubahan dalam hubungan Indonesia-Malaysia,  sehubungan pesatnya kemajuan ekonomi Malaysia di masa pemerintahan Dr Mahathir Mohamad.
Lambat laun pamor Indonesia sebagai kakak meredup terutama setelah terjadi  krisis perbankan yang  melanda Asia Tenggara pertengahan 1997 yang  berlanjut dengan krisis  ekonomi, yang menyebabkan terjadi tergantian rezim di Indonesia.
Kondisi sosial ekonomi Indonesia yang terpuruk,  telah  memberi dampak negatif bagi Indonesia. Apalagi, berlanjut dengan krisis multi dimensi dalam waktu  yang  panjang, telah mengakibatkan Indonesia mengalami penurunan pengaruh dalam percaturan global.
Sementara Malaysia, walaupun terkena krisis perbankan dan  krisis ekonomi, tetapi dalam waktu  yang tidak lama, ekonominya  bisa recovery dan bangkit, sehingga  tidak terjadi pergantian rezim.
Dampak dari itu, generasi baru yang lahir di Malaysia, secara psikologis melihat Indonesia dibawah Malaysia, karena  setiap hari melihat para TKI Penata Rumah Tangga,  buruh bangunan, buruh  perkebunan kelapa sawit, dan buruh di industri (kilang).
Sementara sebagian masyarakat  Indonesia masih bernostagia hubungan kedua negara  pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dan Tun Abdul Razak, sehingga perubahan yang terjadi dalam hubungan People-to-people (P-to-P) sulit difahami apalagi diterima.


Konflik Budaya
Indonesia dan Malaysia jauh sebelum keduanya merdeka sebagai negara yang berdaulat,  merupakan satu kesatuan wilayah, budaya, sosial, politik dan ekonomi.
Penjajah telah  memisahkan keduanya, paling tidak bermula dari Perjanjian (Traktat) London 17 Maret  1824 antara Belanda dan Inggris yang membagi wilayah ” Nusantra” yang disebut di Malaysia “Dunia  Melayu”. Isi perjanjian London itu antara lain bahwa kawasan yang dikuasai Inggris, pentadbirannya diberikan kepada Inggris dan yang dikuasai Belanda, diserahkan kepada Belanda.
Malaysia merupakan salah satu wilayah  yang dikuasai Inggris, sedang Indonesia dikuasai oleh Belanda. Kedua wilayah yang dipisahkan oleh penjajah untuk kepentingan penjajahan, berabad lamanya budaya warisan nenek moyang tetap dilestarikan dan diwariskan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.  Bahkan hubungan kekerabatan dan darah tetap terjaga melalui perkawinan.
Sejarawan Malaysia Muhammad Takari bin Jijin Syahrial (2009:445) mengatakan bahwa adanya hubungan kekerabatan dan darah antara Indonesia dan Malaysia. Dia menunjukkan di Kedah, Perlis, dan Pulau Pinang, banyak migran berasal dari Aceh dan Sumatera Utara.
Sebaliknya dibeberapa kawasan di pulau Sumatera terdapat kelompok-kelompok masyarakat Melayu yang migrasi dari Semenanjung Malaysia, misalnya di pulau Jaring Halus Sumatera Utara, mayoritas penduduknya ialah keturunan Kedah.  Begitu juga dengan Kampung Pahang, Kampung Perlis, Kampung Perak yang membuktikan adanya hubungan darah. P. Ramlee, seniman besar Malaysia adalah keturunan Aceh. Begitu juga Ahmad Jais, nenek moyangnya berasal dari Labuhan Batu, Sumatera Utara.
Hubungan darah, kekerabatan dan migrasi penduduk, telah menyebabkan tumbuh dan berkembangnya budaya yang sama di dua negara.
Tun Abdul Razak dalam Kongres Kebudayaan Kebangsaan pada 16 Agustus 1971 menegaskan bahwa “….. nenek moyang bangsa kita yang mendiami rantau Nusantara ini meninggalkan pusaka kebudayaan yang kaya-raya dan tinggi mutunya. Maka itu, sudah sewajarnya kita menerima gagasan bahawa kebudayaan yang sedang dibentuk dan dicorakkan itu hendaklah berlandaskan kebudayaan rakyat asal rantau ini. Bagaimanapun, patutlah juga kita mengambil unsur-unsur kebudayaan yang datang ke rantau ini dan membawa pengaruh-pengaruh ke atas semenjak beberapa lama supaya pengaruh-pengaruh yang bermanfaat dapat menyegarkan dan menentukan corak kebudayaan Malaysia bagi masa hadapan.  Namun, haruslah diingat, dalam mencari bentuk dan menentukan corak kebudayaan, kita tidaklah melupakan hakikat masyarakat kita yang berbilang kaum “the reality of our multiracial society.” Kita hendaklah senantiasa berpadu kepada cita-cita membentuk suatu negara di mana rakyatnya dari pelbagai kaum dan golongan dapat dijalin dalam satu ikatan yang padu. Saya percaya selagi kita sedar dan insaf akan hakikat ini, kita tidak akan melencong dari matlamat mendirikan bangsa yang bersatu.
Membaranya Ketidak-sukaan
Hubungan Indonesia-Malaysia memburuk akibat Indonesia menganggap upaya pencaplokan daerah Kalimantan (Borneo) oleh Malaysia. Hal ini dianggap Indonesia sebagai pelanggaran terhadap Manilla Accord. Sedangkan menurut Malaysia ini merupakan upaya ikut campur Indonesia terhadap urusan dalam negeri Malaysia. Hal ini mengakibatkan bangsa Malaysia geram dan melakukan tindakan tidak hormat terhadap Indonesia. Demonstarn Malaysia membakar foto Bung Karno di depan PM Tun Abdul Razak. Selain itu, para demonstran juga meneriakkan propaganda lewat media tentang anti Indonesia.

Kerusuhan meningkat ketike Federasi Malaysia dibentuk pada 16 Sepetember 1963. Kantor keduataan Inggris di Indonesia dibakar, diwaktu yang sama di Kuala Lumpur, massa Indonesia ditangkap dan demonstran Malaysia menyerang kedaulatan Indonesia di Kuala Lumpur. Sedangkan di perbatasan, massa Indonesia berusaha merebut Serawak dan Sabah berkali-kali namun belum membuahkan hasil.
Tahun 1964, pasukan Indonesia menyerang wilayah semenanjung Malaya (Melaka dan selatnya). Komando penyerangan ini dinamakan Komando Mandala Siaga (Kolaga). Kolaga dipimpin oleh Laksamana Udara Omar Dani. Armada ini bersiaga di Bengkayang (Kalimantan Barat), Riau, dan Kalimantan Timur.
Malaysia kemudian terkena dampak security dilemma. Malaysia dibnatu Inggris menyerahkan pasukan SAS (Special Air Service). Pasukan dengan tingkat ketahanan perang ini tentu bukan lawan yang proporsional untuk Indonesia. Pasukan gabungan Inggris dan Australia ini berhasil emmukul mundur kekuatan komandan siaga Indonesia sehingga kontak senjata antara Indonesia-Malaysia berkurang (mereda).
Pada awal tahun 1965, ketika PBB memasukkan Malaysia sebagai satu daintara sepuluh anggota tidak tetap DK PBB, Indonesia menyatakan keberatan secara diplomatis dan secara frontal memutuskan keluar dari PBB.
Meskipun berani melakukan langkah frontal, Indonesia ternyata juga terjepit dengan keaddan dimana tidak ada Negara yang beraliansi. Australia dan Inggris malah membantu Malaysia mendapatkan kedaulatan yang lebih baik.akhir dari konfrtontasi ini ialah peristiwa pengepungan 68 hari oleh angakatn bersenajata Malaysia terhadap 5000 warga Negara Indonesia. Sejak saat itu, tidak ada lagi kontak senjata antara Indonesia-Malaysia.

Hasil survei Lembaga Survei Nasional di 33 Provinsi dari 20-29 Agustus 2009 dengan metode multi stage random sampling terhadap 2.178 responden dan margin error 2,1 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen, menyebutkan sebanyak 32 persen masyarakat Indonesia menginginkan putus hubungan dengan Malaysia. 40 persen mendesak pemerintah bersikap lebih tegas kepada Malaysia. Hanya 16 persen yang mendesak supaya hubungan dengan Malaysia ditingkatkan.
Selain itu, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) dengan metode multi stage random sampling dengan 1,000 responden,  sebanyak 67,5 persen publik Indonesia mempersepsikan hubungan Indonesia selama ini sangat buruk. Sangat baik 21,9 persen, tidak jawab 10,5 persen.
Hasil survei Sydney’s Lowy Institute tahun 2012, yang dilakukan seluruh Indonesia kecuali Maluku, Papua dan Papua Barat. Usia responden 17 ke atas, negara yang dianggap ancaman adalah Malaysia (63 persen),  Amerika Serikat (19 persen), China, Australia, dan  Singapura 12 persen.
Terakhir,  hasil survei Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia tahun 2010 bahwa dari 250 mahasiswa, menyebutkan bahwa sebanyak 69 persen menempatkan Malaysia sebagai ancaman utama  Indonesia di era globalisasi
Dari hasil berbagai survei tersebut dapat dikemukakan bahwa tingkat ketidak-sukaan sebagian besar masyarakat Indonesia terhadap Malaysia sangat tinggi.  Besarnya tingkat ketidak-sukaan terhadap Malaysia merupakan bom waktu karena pada umumnya yang tidak suka kepada Malaysia adalah dari kalangan muda Indonesia.
Pemecahan Masalah
Besarnya perasaan tidak suka terhadap Malaysia dan adanya perasaan terancam dari  Malaysia, tidak boleh dianggap sebagai angin lalu dan  dibiarkan seperti selama ini.
Menurut saya, diperlukan upaya yang serius dan  terus-menerus untuk memecahkan masalah yang mengancam  hubungan kedua negara. Pertama, mencari akar masalah yang membuat sebagian bangsa Indonesia tidak suka terhadap Malaysia.  Akar masalahnya memang kompleks tetapi harus ada upaya untuk memecahkannya melalui dialog  seperti sengketa budaya harus ada dialog untuk menemukan titik persamaan pandangan antara P-to-P, dan G-to-G supaya masalah ini tidak menjadi bola liar yang merusak hubungan kedua bangsa.  Begitu juga masalah TKI, harus ada upaya untuk mencegah dan mengurangi perlakuan kurang manusiawi terhadap TKI, misalnya  dengan membentuk Lembaga Monitoring TKI dan Majikan di Malaysia.
Kedua, lakukan pendekatan dengan masyarakat kampus, NGO, budayawan, dan kelompok-kelompok kritis terhadap Malaysia melalui berbagai program kegiatan. Maka, sebaiknya pemerintah Malaysia  menyediakan dana yang cukup untuk membiayai kegiatan tersebut.
Untuk menghilangkan kecurigaan, maka para alumni dari Malaysia dapat memainkan peran yang konstruktif untuk meluruskan  persepsi negatif terhadap Malaysia. Selain itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Malaysia, dapat dilatih untuk menjadi duta untuk mengharmoniskan hubungan P-to-P dan P-to-G Malaysia.
Ketiga, pemerintah Malaysia, harus lebih aktif lagi membangun hubungan dengan media di Indonesia. Lakukan kegiatan yang bisa mendekatkan hubungan harmonis dengan wartawan seperti  coffee morning sebulan sekali untuk membangun komunikasi dan keakraban.
Keempat, pemerintah Malaysia sebaiknya semakin meningkatkan  lobby dengan para pimpinan partai politik dan para anggota  parlemen Indonesia khususnya Komisi l DPR RI.
Hubungan yang dibangun tidak hanya formal, tetapi  akan lebih baik jika bersifat kekeluargaan.
Kelima, manfaatkan para alumni dari Malaysia  menjadi duta Indonesia-Malaysia untuk mengurangi dan menghilangkan ketidak-sukaan terhadap Malaysia. Selain itu, partisipasikan para alumni dari Malaysia  dalam investasi Malaysia di Indonesia. Begitu juga dalam  membangun kerjasama dibidang  ekonomi, budaya, sosial dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Sejarah seakan lalu terulang,  jika  manusia tidak mau belajar dari sejarah.  Indonesia pernah berperang dengan Malaysia, dan sejarah itu bisa terulang.
Untuk mencegah terulangnya sejarah kelam dalam hubungan Indonesia-Malaysia, jangan memandang remeh dan menganggap sepele bahwa tidak apa-apa dalam hubungan kedua bangsa ini.  Menurut saya sangat serius karena yang membenci dan menganggap Malaysia sebagai ancaman, pada umumnya adalah  dari kalangan muda Indonesia yang berpendidikan.
Oleh karena itu, berbagai persoalan yang selalu menimbulkan masalah dalam hubungan kedua negara harus dipecahkan. Selain itu, sudah saatnya dilakukan perubahan paradigma dalam menjalankan diplomasi dengan lebih menukik kepada soft power approah pada P-to-P dengan mendayagunakan seluruh potensi alumni dari Malaysia untuk membangun new approah dalam bidang ekonomi, budaya, sosial, politik dan pertahanan  dalam upaya mewujudkan hubungan dua bangsa  yang mesra, saling menghormati, tolong-menolong, saling melindungi dan saling memajukan dalam berbagai bidang.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar